02 January 2018

[Sinopsis] Tunnel [Korean Movie] [part 4]


Runtuhnya Terowongan Hado membuat masyarakat mempertanyakan kekokohan terowongan yang ada di Korea. Dan hal ini mengakibatkan adanya inspeksi ke semua terowongan yang ada dan hasilnya cukup mencengangkan. Dari 121 terowongan yang diperiksa, 78 diantaranya proses pembangungannya tidak memenuhi standar keamanan.





“Kau bilang kau akan mengeluarkanku sebelum airku habis,” ucap Junsu kepada Ketua Kim yang hanya bisa meminta maaf (air minum Junsu habis tumpah saat berusaha menolong Mina, red). Tapi Ketua Kim terus meyakinkan Junsu kalau mereka akan menyelamatkannya. Dia juga memberikan saran agar Junsu meminum urinnya saja kalau memang kehausan. Kata dia itu terbukti steril (iyuuhhh...)

“Apa kau pernah mencobanya?” tanya Junsu. Ketua Kim terdiam.

“Maaf. Aku belum pernah mencobanya,” jawabnya kemudian.




9 hari setelah runtuh

Junsu menyimpan urinnya di botol. Setelah itu, dia bercanda sejenak dengan Tengie. Tanpa sengaja dia melihat sesuatu di mulutnya. Makanan. Dia mengambil dan mencicipinya.


Junsu kembali ke mobil Mina untuk mengambil makanan Tengie yang ada di sana dan kemudian membaginya bersama Tengie. Junsu masih kesal karena Tengie menghabiskan kuenya kemarin. Jadi dia memberikan Tengie hanya separuh dari dari bagiannya :D

“Sepertinya anjing tidak suka garam,” gumamnya sambil mengunyah.


Setelahnya dia kembali bermain bersama Tengie. Kali ini dia mengalungkan kalung milik Tengie ke lehernya sambil berpura-pura tercekik. Tepat saat itu tiba-tiba terjadi runtuhan di sisi kanannya. Refleks Junsu berlutut di bawah kursi.


What a relief karena ternyata kejadian tadi justru memberikan ruang yang lebih luas bagi Junsu untuk akhirnya berdiri di luar mobilnya. Dengan segera Junsu keluar untuk meregangkan otot-ototnya.



Junsu kemudian melakukan inspeksi ke sekelilingnya. Dia melihat sebuah kotak besi. Dibukanya dan di dalamnya ada keran dan pipa. Sayangnya, tak ada airnya. Dia justru mendapati seekor kelabang. Dia langsung membuangnya dan Tengie mengejarnya. Si kelabang berhasil kabur ke celah lain yang ada. Sangat kecil untuk dilewati manusia dewasa.



Hari ke 10 setelah runtuh

Ketua Kim kembali menelepon Junsu untuk mengabarkan bahwa pengerjaan berjalan lancar. Hanya saja karena banyak batu besar, mereka masih butuh waktu untuk sampai ke tempat Junsu.

Ketua Kim juga memberitahu Junsu bahwa dia sudah mencoba minum urinnya (Omo, sepertinya dia merasa bersalah karena menyarankan sesuatu yang menjijikkan sementara dia sendiri belum pernah melakukannya). Dia memberitahu Junsu agar mendinginkannya terlebih dahulu sebelum diminum.


Junsu mengamati botol yang berisi urinnya. Dia terbatuk. Dia kemudian mengangkat botol itu dan bersiap meminumnya. Urinnya sudah hampir menyentuh mulutnya ketika dia mendengar sesuatu.




Junsu bergegas ke arah suara. Dari sebuah celah kecil. Dia melihat air menetes dari sebuah batang besi. Diulurkannya tangannya dan dicicipinya sedikit. Segar.

Segera diambilnya botolnya yang lain dan menadah tetesan air tadi.



“Yeobo, aku minum air. Airnya segar,” ucap Junsu kepada istrinya. Suaranya sangat bahagia. Dia menyuruh istrinya agar tidak lagi mengkhawatirkannya dan tetap makan. Sekarang dia sudah punya air jadi dia bisa bertahan hidup. Istrinya bisa sedikit tersenyum mendengarnya.


Sehyun bertemu Ketua Kim setelah menerima telepon dari Junsu. “Kudengar kau meminum urin? Berapa banyak yang kau minum?” tanya Sehyun.

“Ah, orang itu menceritakan semuanya,” gerutu Ketua Kim. “Satu gelas. Sebanyak itu,” jawabnya sambil menunjuk gelas yang dipegang Kapten Kang.

“Kau mau?” tawar Kapten Kang ketika melihat Ketua Kim menunjuk gelasnya. Ketiganya tertawa.


“Para pendengar, seperti yang Anda ketahui. Hanya frekuensi radio kami yang bisa didengarkan oleh Lee Junsu di dalam terowongan. Oleh karena itu, jika nanti hpnya mati karena batereinya habis, kami setuju untuk menyampaikan informasi dari tim penyelamat kepadanya setiap jam 12 siang. Karena itu, kami memohon pengertian pendengar semua.”

Junsu membersihkan dirinya sambil mendengarkan radio dari mobilnya.



Tim penyelamat akhirnya berhasil mengangkat material banguanan dari terowongan. Penangung jawab lalu menjelaskan kepada para wartawan bahwa hal ini berarti, besok mereka sudah bisa sampai ke dasar terowongan. Dengan demikian, mereka bisa segera mengeluarkan Junsu.

Tim penyelamat bertepuk tangan mendengar itu. Sehyun juga tersenyum senang.


Keesokan harinya, Sehyun mengirimkan pesan ke Sujin. “Besok, Appa akan pulang.”

“Jangan lupa anak anjingnya,” balas Sujin. Sehyun tersenyum.

Seorang petugas masuk dan membangunkan temannya yang sedang tertidur di belakang Sehyun. “Ah, aku ketiduran. Aku benar-benar lelah.” Sehyun mendengarnya.


17 hari setelah runtuh.

“Lihatlah ke atas. Kalau ada sesuatu yang seperti akan jatuh, segeralah menyingkir. Lebarnya hanya 60 cm, jadi tidak perlu terlalu jauh bersembunyi,” Ketua Kim memberitahu Junsu. Junsu berterima kasih dan segera bersiap.



“Ini adalah material aspal dan kepingan kipas,” ucap petugas. “Kita sudah sampai di dasar.”

“Tidak mungkin,” ucap Ketua Kim. “Bawa blue printnya.”


“Sepertinya ada masalah,” bisik-bisik para wartawan yang sedang menunggu.



“Junsu-ssi, apa kau bisa melihat bornya?” tanya Ketua Kim.

“Aku tidak melihat apa-apa,” jawab Junsu.

“Kedua kipasnya masih di sana?” tanya Ketua Kim lagi. Junsu mengiyakan.

“Kenapa?” tanya balik Junsu.

“Ah begini. Aku akan mencari tahu dulu. Aku akan menghubungimu lagi nanti.”


Seorang petugas memperlihatkan video sewaktu peresmin terowongan. Ternyata kipasnya hanya ada 6, bukan 7. Mereka juga mendapat info dari insinyur yang bertanggung jawab saat pembangunan yang mengatakan bahwa mereka hanya memasang 12 kipas di 6 lokasi (My version: awalnya mungkin mereka membagi panjang terowongan dengan 7 karena mengira kalau kipasnya ada tujuh. Jadi misalnya panjang terowongan 1000 m lalu dibagi tujuh, maka jarak setiap kipas itu sekitar 142,xxx m. Kipas ketiga berada pada jarak 428,xxx m dari ujun terowongan. Tapi karena ternyata hanya ada 6 kipas, makanya jarak kipas ketigad dari ujung terowongan menjadi 500,xxx. Ini hanya itung-itungan saya ya).

“Apa maksudnya ini? Blue printnya salah? Apa itu masuk akal?” ucap Kapten Kang. Semua orang tak bisa berbicara. Ini berarti usaha mereka selama 17 hari ini sia-sia? Mana salju semakin lebat turunnya.


Sehyun mendengar bisik-bisik wartawan yang akhirnya tahu kalau para petugas salah lokasi penggalian. Dia pun berjalan mendekati Ketua Kim.



“Berapa jarak lubang penggalian sekarang dengan tempat Junsu yang sebenarnya?”

“150 meter.”

“Kita tidak mungkin bisa mencapainya dengan alat yang ada sekarang.”

“Jadi maksudmu kita harus memulainya dari awal lagi?” tanya Kapten Kang. Dia lalu menoleh melihat ke arah bukit yang sudah menggelap. Tak ada lagi warna hijau. Semua pohon sudah tertutupi salju tebal.



“Kapan kalian akan datang?” tanya Junsu.

“Kami menggali di tempat yang salah,” jawab Ketua Kim.

“Apa maksudnya itu?”

“Kami salah memperkirakan lokasi dan akhirnya menggali di tempat yang berbeda.”

Junsu tidak tahu harus berkata apa dan Ketua Kim hanya bisa meminta maaf.

“Kalau begitu, apa yang akan terjadi padaku?” tanya Junsu akhirnya. Kapten Kim menjawab bahwa mereka sepertinya harus mengulang dari awal.

Junsu tak bisa lagi menahan dirinya. Dia berteriak dan menendang-nendang mobilnya sampai kesakitan sendiri. Dia memegang dadanya.



“Oppa, kau baik-baik saja?” tanya Sehyun terdengar khawatir. Ketua Kim menyerahkan teleponnya kepada Sehyun. Sehyun seperti mendengar nafas suaminya yang terengah-engah. Dia ingin meminta bantuan dokter tapi Junsu melarangnya.

“Tidak perlu. Baterei hp ku sudah mau habis. Sehyun, ini percakapan kita yang terakhir. Berikan pada Sujin. Aku mau mendengar suaranya,” pinta Junsu.

“Oppa, Sujin tidak ada disini. Oppa, kau harus sadar. Tolong bertahanlah.” Tapi Junsu menolak. Sehyun terus memintanya untuk bertahan dan akhirnya Junsu berteriak.

“Kenapa aku harus bertahan?!!”

Setelah cukup tenang dia melanjutkan, “Yeobo, tolong jaga Sujin dan juga dirimu. Aku minta maaf. Aku tidak bisa lagi melanjutkan ini. Aku tidak bisa.” Junsu mulai menangis. Sehyun tidak membalas ucapan Junsu selama beberapa saat.

“Baiklah. Kalau begitu mati saja. Oppa mati saja! Tapi setelah kau mati, aku dan Sujin juga akan mati. Biar kita semua mati! Kau dengar aku? Ini bukan hanya ancaman. Aku benar-benar akan melakukannya. Atau, kalau kau bisa, demi kita semua, berhentilah bersikap lemah seperti ini. Berhenti bilang kau mau mati. Bertahanlah. Kumohon!” Sehyun memohon dengan suara bergetar. Sungguh tegar wanita yang satu ini.


Tak ada jawaban karena saat itu juga hp Junsu mati.


Sehyun mengembalikan hp Ketua Kim dan berjaln meninggalkan lokasi. Tapi kemudian dia jatuh pingsan. Petugas segera berlarian menolongnya. Dan salju turun semakin lebat.



Hari ke-23

Proses penyelamatan akhirnya kembali diulang dari awal dengan masalah yang semakin banyak. Mulai dengan terhalanganya mobil yang membawa peralatan tambahan akibat salju yang turun lebat di hari sebelumnya, dimulainya perdebatan apakah Junsu masih hidup di dalam terowongan atau tidak dan masih perlukah pekerjaan tersebut dilanjutkan. Belum lagi perdebatan tentang kelanjutan pembangunan Terowongan Hado No. 2 yang sebelumnya dihentikan untuk penyelamatan Junsu.



Perdebatan tersebut membuat Ketua Kim mengeraskan suaranya di depan para anggota dewan yang sedang membahas tentang besarnya kerugian yang harus ditanggung karena penghentian tersebut. Salah seorang dari mereka mencoba mengingatkan tentang kerugian yang harus mereka dapatkan karena seekor salamander beberapa waktu yang lalu.

“Maaf, Pak. Tapi yang ada di bawah terowongan sekarang bukanlah seekor salamander. Dia manusia,” ucap Ketua Kim.

“Aku tidak pernah mengatakan sebaliknya,” balas anggota dewan tersebut.

“Ya, aku tahu. Aku hanya mencoba mengingatkan kembali karena sepertinya kita semua mulai lupa bahwa yang terperangkap di sana itu adalah seorang manusia.”


Keadaan Junsu sama tidak membaiknya. Udara semaikin dingin dan bensin mobilnya sudah hampir habis. Dia mencoba keluar dari celah tempat kelabang kemarin kabur. Sayangnya di situ kakinya terluka.



Sementara itu ada 3 pekerja yang sedang memotong besi di dalam terowongan. Dua di antara mereka mulai mengeluh. Mereka mulai meragukan kalau Junsu masih hidup. Sementara pekerja yang satu melarang mereka berkata begitu. Temannya berkata bahwa walaupun kau berniat baik, tapi dia juga pasti berpikir yang sama dengan yang lain.

“Tidak. Aku tidak pernah berpikir seperti itu,” jawabnya. Dia adalah pekerja yang sebelumnya memakan telurnya yang jatuh di lantai. Lalu dia lanjut kerja.



Tapi ajal tak dapat diduga. Petugas yang baik hati itu malah tewas terkena kepingan mata pisau 
yang terlepas dari pemotongnya.


Informasi tersebut akhirnya sampai di tempat perdebatan dan Ibu PM langsung meninggalkan tempat setelah sebelumnya berkata dengan suara kecil bahwa dia sudah menduga hal seperti ini akan terjadi.



Mereka lalu pergi ke tempat pemakaman. Sehyun juga datang tapi dia hanya bersembunyi di balik pintu. Tak berani mendekat. Dia melihat kalau petugas tersebut memiliki seorang anak yang sama umurnya dengan Sujin.



Di dalam terowongan Junsu memaksa lukanya itu agar mengeluarkan darah. Dia lalu menyiramnya dengan cairan yang dia temukan di bagasi mobil. Semacam alkohol. Dia menjerit kesakitan.



Sehyun sedang memasak untuk para petugas dan ibunya menelepon. Dia memberitahu bahwa Ibu teman-teman Sujin sedang menggosipi dirinya. Selain itu, ibu dari petugas yang meninggal datang dan melemparinya telur. Dia memaki Sehyun dan berkata bahwa anaknya tewas karena harus mengeluarkan mayat suami Sehyun. Sehyun tak bisa berkata apa-apa selain menunduk meminta maaf.



Di tempat istirahatnya Sehyun membaca bahwa sudah terjadi pemungutan suara di dewan dan 65% setuju untuk melanjutkan pembangunan Terowongan Doha No.2.


Seorang petugas pemerintah juga datang dan membujuk Sehyun untuk menandatangani surat penghentian proses evakuasi.

“Aku mengerti keadaanmu. Tapi sekarang semua orang mengalami kesulitan. Semua orang sudah lelah. Jika kau tetap berkeras dan akhirnya kembali ada korban, apa yang akan terjadi? Sekarang saatnya kau membuat keputusan,” ucapnya.

“Tapi... bagaimana kalau ternyata suamiku masih hidup? Apakah kalian tidak merasa menyesal?”

>>> Part 5 <<<